Luka

-Pertemuan Sang Matahari dan Manuel-

Sarah Jembaranita
5 min readAug 15, 2023
Chapter 1: Baskara and Manuel on the road
Picture by Sarah Jembara

Manuel seorang murid tahun pertama di sekolah menengah atas. Sepulang dari sekolah biasanya ia menghabiskan waktu mengunjungi sanggar tari dan drama. Manuel sudah sejak lama menjadi relawan di sana, ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengajar tari. Karena hanya di sanggar lah Manuel bisa menjadi dirinya sendiri. Sanggar tak hanya menerima anak-anak yang ingin belajar tari atau drama tapi juga menjadi rumah bagi puluhan anak jalanan. Hal ini telah dilakukan pemilik sanggar sejak beliau pensiun dari pekerjaanya sebagai guru seni di salah satu sekolah. Hari itu Manuel sedang mengajarkan gerakan tari kreasi di sanggar sampai seorang ibu datang dan menarik paksa seorang anak.

Sang anak menolak untuk pulang ia ingin tetap di sanggar. Melihat hal itu Manuel mencoba mencegah sang ibu membawa pulang si anak. Manuel sebelumnya tak pernah meninggikan suaranya, hari itu semuanya lepas begitu saja. Sang ibu sempat terdiam beberapa saat mendengar perkataan Manuel namun ia keukeuh membawa anaknya. Manuel akhirnya mundur memberikan jalan untuk mereka, sang anak melihat ke belakang dengan tatapan memohon padanya. Manuel hanya bisa menatap sedih si anak tanpa melakukan apapun. Kelas tari dibubarkan disaat yang sama. Pak Anton — pemilik sanggar, tiba di aula. Manuel menceritakan semuanya kepada beliau dan ia menyesal karena tak bisa menahan anak itu untuk tetap tinggal. Pak Anton berkata tak apa-apa namun raut wajahnya menunjukkan sebaliknya.

Anak yang dibawa sang ibu adalah korban dari perceraian orang tuanya. Sang anak sering kali dipukuli oleh ibunya jika perintahnya tidak dituruti. Ia tak segan memukul sang anak menggunakan barang-barang keras seperti asbak. Si anak berhasil melarikan diri. Ia sempat terlantar di jalanan sampai Pak Anton bertemu dengannya. Setelah mendengar cerita Manuel, Pak Anton segera mengemudikan mobil ternyata perjalanan mereka belum jauh, ia segera turun dari mobil mendekati ibu dan anak tersebut. Sang ibu bersikeras menahan anaknya. Pak Anton mengeluarkan amplop coklat bersegel dari saku belakang celana, ia memberikan amplop tersebut ke ibu. Sang ibu membuka amplop dan terkejut melihat nominal uang yang sangat besar di tahun itu.

“Berjanji lah kau tidak akan kembali lagi ke kota ini dan mencarinya,” kata Pak Anton sambil menatap sang ibu.

“Kau bawa saja dia kalau begitu. Sana kau,” sang ibu mendorong anaknya ke arah Pak Anton. Anak tersebut langsung memeluknya. Sang ibu melanjutkan perjalanan sambil tersenyum senang mendekap amplop coklat. Pak Anton dan Genta meninggalkan jalanan. Mereka mampir ke sebuah toko kelontong terlebih dahulu sebelum kembali ke sanggar. Pak Anton membelikan ice cream coklat untuk Genta. Genta menerimanya dengan kepala tertunduk.

“Dulu mama tidak pernah kasar sama Genta. Kenapa Mama berubah? Genta pernah dengar kalau orang tua Genta berpisah gara-gara Genta. Salah Genta apa?” Air matanya mengalir membasahi tanah yang ia pijak. Ice cream yang ia pegang juga mulai mencair. Pak Anton mengusap pelan punggung Genta.

“Kamu tidak salah apapun karena tak semua orang tua bisa mengurus anak mereka. Jangan salahkan diri kamu karena kejadian hari ini, kamu hanya tidak punya orang tua yang baik dan kabar baiknya kamu sudah terbebas dari mereka, Genta.” Mendengar kalimat tersebut tangis Genta semakin menjadi, ia sedih sekaligus bersyukur. Bersedih karena kenyataan hidupnya dan bersyukur karena ia bertemu orang baik macam Pak Anton. Setelah Genta selesai menangis dan memakan ice creamnya mereka kembali ke sanggar.

Manuel masih di sanggar. Perasaannya berkecamuk. Rasa bersalah dan menyesal menekan dadanya. Manuel terus berjalan menyusuri lorong. Sanggar ini lebih besar daripada yang kalian bayangkan. Ia sampai di sebuah ruangan yang ia yakini kosong. Manuel mendorong pintu namun ada yang menahan dari dalam. Ia mencoba mendorong lagi sampai badannya terpental dari pintu. Tak menyerah ia kembali mendorong pintu disaat bersamaan pintu terbuka. Manuel hampir saja terjerembab ke lantai jika kedua tangan itu tak menahan badannya. Manuel segera bangkit dari posisinya, ia kenal salah satu dari mereka. Baskara yang barusan menolongnya namun ia tak mengenali seseorang lagi memberi tatapan tajam padanya. Orang itu berlalu begitu saja meninggalkan Manuel dan Baskara.

“Lo nggak papa?”

“Nggak papa. Makasih ya, kak.”

“Sama-sama.”

“Kak, yang tadi itu siapa?”

“Adikku.”

“Adik kakak? Kak Baskara punya adik?”

“Iya. Yuk keluar, disini banyak cicak lho.”

Manuel geli sendiri membayangkan cicak merayap-rayap di ruangan ini. Mereka berjalan bersisian menuju taman, Baskara melirik Manuel yang murung namun ia tak bertanya apapun kepada gadis itu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sampai suara mesin mobil memecah kesunyian. Manuel melihat Genta turun dari mobil, ia berlari menghampiri Genta dan memeluknya sambil terisak pelan. Pak Anton mulai menceritakan kejadian di jalan tadi. Mendengar penjelasan Pak Anton membuat Baskara mengerti alasan dibalik wajah murung Manuel. Baskara sendiri tahu ada hal yang tidak diceritakan Pak Anton ke Manuel biarlah itu menjadi urusan Pak Anton dan ibu Genta pikirnya.

“Nah sekarang kamu pulang ya Manuela. Genta juga sudah pulang ke rumahnya.”

“Iya, pak. Sekali lagi Manuel minta maaf karena nggak bisa menyelesaikan masalah yang tadi, bahkan Genta hampir dibawa ibunya lagi. Maaf.”

“Tidak perlu minta maaf, Manuela. Kamu sudah melakukan peran kamu dengan baik. Masalahnya sudah selesai. Sekarang kamu harus pulang sebentar lagi malam tiba.”

Manuela mengangguk, ia mengambil tasnya yang tertinggal di aula sekalian mengantar Genta ke kamarnya. Pak Anton dan Baskara masih berada di halaman depan melihat kedatangan Manuel mereka menghentikan obrolan. Manuel berpamitan kepada Pak Anton dan Baskara. Baskara berjalan cepat mencegat langkah Manuel, membuatnya terkejut.

“Mau kemana lo?”

“Pulang, kak.”

“Jalan kaki terus cari bis?”

“Iya, kak.”

“Bisa-bisa lo diculik nunggu di halte jam segini. Masuk ke mobil gih, gue anterin pulang.”

“Tapi,”

“Nggak ada tapi-tapian, buruan.”

Melihat raut wajah serius Baskara ia segera masuk ke dalam mobil. Manuel bingung dari tadi ia tidak melihat tanda-tanda mereka akan ke rumahnya. Memangnya Baskara tahu alamat rumahnya?

“Kak, kita mau kemana?”

“Nganter lo pulang.”

“Kak Baskara tahu alamat rumahku?”

“Eh? Gue lupa nggak tahu alamat rumah lo. Dimana alamatnya?”

Manuel membekap mulutnya menahan tawa. Bisa-bisanya Baskara mengantarnya pulang tapi tidak tahu alamatnya rumahnya. Manuel menyebutkan alamat rumahnya. Baskara tahu alamat yang diberi Manuel. Sampai di rumahnya Manuel mengucapkan terima kasih kepada Baskara. Baskara meninggal area perumahan itu dengan rasa sesak di dada. Kakinya menginjak pedal gas sedalam mungkin, meninggalkan kenangan di belakang.

--

--

Sarah Jembaranita
Sarah Jembaranita

Written by Sarah Jembaranita

A woman love about art and literature.

No responses yet