Sejuta Pesona

Sarah Jembaranita
13 min readAug 31, 2021

--

-More Than You Think, 2020-

Picture by Sarah Jembara

Salma memperhatikan Rasha ia mengenakan celana bahan berwarna hitam, kemeja abu-abu terang, sneakers hitam, dan kacamata dengan frame kekinian bertengger di hidungnya. Sejak kapan ia memakai kacamata? Tanyanya di dalam hati. Rasha mengerjapkan mata ia ikut terkejut mendapati Salma persis di belakangnya sedang mengantri. Menit demi menit berlalu. Rasha merasa harus segera mengakhiri keheningan.

“Hai, Sal.”

Sapa Rasha pada akhirnya.

“Hai, Ras. It’s been a long time since I saw you. Apa kabar?”

I’m good. Lo kapan balik ke Indonesia?”

Six months ago. Gue lagi magang di kantor sebelah.”

I see. Di sebelah? Itu kantor akuntan publik bukan firma arsitektur, right?

“Hahaha, emang bukan kok. Gue sekarang kuliah jurusan analis keuangan.”

“Gue kira lo bakal jadi arsitek, tapi hidup emang ga ada yang tau.”

“Setuju. Eh, duduk situ yuk.”

Salma menunjuk kursi kosong dan meja menghadap ke arah jalanan area tersebut tak begitu ramai. Mereka berjalan sambil membawa pesanan masing-masing. Begitu duduk Salma menyeruput kopinya ia mengernyitkan dahi karena rasa tak familiar ini mengalir ke kerongkongannya. Rasha duduk di seberang bisa menebak kalau Salma bukan coffee person.

“Kalau masih pahit tambahin gula, Sal.”

“Emm, nggak kok ini udah pas. Cuma gue nggak terbiasa minum kopi. Anyway lo sekarang kuliah atau kerja, Ras?”

“Gue sekarang lagi magang juga.”

“Hmm, lo magang dimana?”

“Di H.B.S.

“Rumah sakit Helena Bhaktir Soedirman maksud lo?”

“Iya, disitu.”

“Ras. Don’t you say, you are becoming a doctor?

I do.

Salma menggelengkan kepalanya ia tak menyangka Rasha menepati janji menjadi seorang dokter di masa depan. Lebih tepatnya ia mengabulkan permintaan sang ibu setidaknya di dalam keluarga mereka harus ada satu orang yang menjadi dokter. Ia tahu hal ini karena Rasha pernah sedikit bercerita tentang cita-cita keluarganya. And now, he does.

Speechless.

“Berat memang, tapi gue enjoy so far. Kapan lagi ngeliat organ tubuh gratis, kan?”

“Ih, alasanya ga valid banget.”

“Valid dong.”

Sembari menikmati kopi mereka menatap jalanan yang tidak seramai biasanya. Mungkin orang-orang ingin pulang ke rumah secepatnya. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing mencari topik untuk memulai obrolan. Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Ratusan hari dan purnama telah dilewati. Tentu mereka mempunyai banyak cerita entah bagaimana harus memulai. Rasha mengalihkan pandangannya dari jalanan ia melihat ke arah Salma, selama itukah mereka tidak pernah bertemu dan berbicara? Sampai-sampai ia tidak menyadarinya. Pelan tapi pasti Rasha membuka obrolan mulai dari cerita yang ringan. Salma menyudahi kegiatannya memandangi jalanan begitu mendengar suara Rasha. Pelan tapi pasti ia mulai menikmati obrolan ini. Menurutnya Rasha selalu punya cara tersendiri membuat orang tertarik mendengarkan kisahnya.

Jika Salma bertanya, Rasha menjawab begitu sebaliknya. Tidak ada pertanyaan yang diabaikan atau sok sibuk seperti dulu. Obrolan mereka terhenti sesaat karena Rasha harus mengangkat telpon dari rekannya membahas sesuatu yang Salma juga tidak tahu tentang apa. Salma menyentuh gelas dengan ujung jari tanda ia sedang berpikir serius. Apa ia harus bertanya sekarang? Atau ia abaikan saja? Melihat Rasha kembali duduk rasanya Salma harus menggunakan kesempatan sebaik mungkin sebelum terlambat.

“Lo lagi free? Maksudnya ada hal yang harus lo lakukan secepatnya?”

“Ada, tapi masih bisa gue tunda. Kenapa?”

“Harusnya gue yang tanya. Kenapa ditunda?”

”Gue udah terbiasa nggak tidur karena jaga malam. Lagian gue cuma mau belajar buat jawab pertanyaan konsulen besok pagi.”

“Level lo emang beda si, no comment.

Salma menggerakkan tangan seolah mengunci mulut.

“Ada yang mau lo tanyain, ya?”

“Iya. Emm, Ras?”

“Hmm?” Rasha menatap Salma.

“Mungkin ini ga penting buat lo setelah semuanya terjadi beberapa pertanyaan mampir tanpa tau jawabannya kecuali elo. Kenapa lo membentang jarak? Kenapa lo selalu mengacuhkan bahkan menghindar ketika kita nggak sengaja papasan di sekolah dulu? Kenapa lo ga pernah balas pesan yang gue kirim? Why, Ras?

Rasha menarik nafasnya ini pertanyaan sederhana tapi sulit untuk dijawab. Tenggorokannya tiba-tiba kering. Ia menyeruput kopinya.

“Satu-satu, Salma. Gue nggak akan lari.”

Salma mengangguk.

“Gue nggak pernah berniat untuk jaga jarak. Seandainya gue selalu ada, harapan dan cara pandang lo ke gue juga akan berubah. Gue ga pernah mau kasih lo harapan. Karena kedepannya akan semakin rumit takutnya lo nggak bisa membedakan antara harapan dan realita. Dan…”

“Dan?”

“Dan gue nggak suka lihat lo nangis apalagi gue sebagai penyebabnya.”

“Selama ini aktor utama yang bikin gue nangis, it’s you.

“Seperti yang gue bilang barusan gue nggak pernah berniat. Tapi kenyataannya berbeda dan gue nggak bisa kontrol itu.”

“Gue dulu selalu kesal karena lo membentang jarak dan nggak pernah nyapa pas kita papasan. Gue mikir, ni orang jahat banget, emangnya gue bisa atur perasaan gue harus diarahkan kemana? Buat denger jawaban lo barusan gue harus nunggu bertahun-tahun. Worth it and now it sounds make sense. Gue sejalan dengan statement lo. You are always being realistic for everything.”

“Gue nggak akan membela diri. Hujat aja, nggak papa.”

“Hahaha, I did it. Tapi, kenapa lo ga pernah bales pesan gue?”

“Lo selalu bisa menggunakan kesempatan dengan baik ya. Gue bales. Tapi bukan yang mengarah ke personal, dan beberapa pesan lagi gue bales di dalam hati.”

How could you do that? Gue selama ini mikir kesalahan apa lagi yang gue buat sampe lo ga mau balas. Ternyata itu alasannya.”

Rasha tertawa melihat Salma yang kesal sambil memicingkan mata ke arahnya.

“Lo kenapa suka mikir? Kuliah mikir, magang mikir, apa-apa mikir. Nggak capek?”

“Hahaha, it was a question? Of course gue capek. Dari lahir udah kaya gini, Ras.”

“Iya ya, gue terkadang kebanyakan mikir juga.”

Rasha kembali menyeruput kopinya.

See? Eh, gue inget deh. Dulu Gara pernah minta maaf sama gue katanya lo yang nyuruh dia. It was true?

“Gara? Gabriel kan, ya?”

Yes, Gabriel Jayanegara.”

Okay. Ada part yang lo belum tau, gue ceritain. Sebelum Gara minta maaf pas sore-sore ada Penny di rumah. Nggak biasanya dia datang tanpa nge-chat dulu. Bingung juga kenapa dia tiba-tiba mampir. Akhirnya dia ceritain pangkal masalahnya dan gue nggak mau memperpanjang. Penny gue ajakin main PES sebelum pulang, tapi dia ga mau.”

“Ras, siapa juga yang mau PES sedangkan tujuan Penny ke rumah lo bukan itu. Aneh deh ah.”

“Kan gue nawarin siapa tau dia mau join. Makin rame makin seru.”

“Sesenang lo aja deh. Kenapa kita malah bahas Penny, ya?”

“Intermezo. Singkatnya, malam itu gue minta Gara untuk minta maaf sama lo karena kabarnya nggak benar. Berasa artis gue digosipin segala.”

“Lo beneran nggak pernah pacaran sama Kamya?”

Rasha bisa melihat Salma lebih antusias dibanding sebelumnya.

Never. Gue cuma sebangku sama dia, nggak lebih. Lagian kenapa Kamya? Padahal waktu itu kiri kanan gue perempuan semua, lo tau lah kisah klasik anak IPA. Lebih banyak perempuan daripada laki-laki, bangku kosong cuma ada satu di samping Kamya. Masa gue harus duduk di lantai? Atau gue duduk di kursi guru? Sekalian ngajar, gitu? Yang bener saja. Nggak ngerti gue kenapa nanggung banget gosipnya sekalian aja bilang gue pacarin sekelas.”

Tawa Salma pecah ia menutup wajahnya sempurna memerah karena jokes Rasha barusan.

“Gue bingung si, nggak ada hujan ga ada badai. Kok tiba-tiba banget.”

“Lo aja bingung apalagi gue yang kerjaannya cuma ke sekolah dan rumah. Nggak ada kegiatan lain kok bisa ada gosip.”

Salma tertawa kecil, “At least nambahin cerita lucu dalam hidup, nggak boring-boring amat lah masa sekolah lo. Did you change your number?

“Ah, nomor yang lama di blokir terus ponsel gue rusak. Jadi gue beli ponsel baru,” Rasha menunjuk ponselnya.

Rasha mengambil notes di dalam tas beserta pulpen. Ia menuliskan nomor ponsel dan alamat emailnya.

“Nih, lo bisa hubungi gue ke sini.”

Thanks. Gue test, ya? Siapa tau lo bohong.”

Test aja dulu, siapa tau benar.”

Salma menghubungi nomor yang diberikan benar saja layar ponsel Rasha menyala menampilkan nomor Salma. Mereka masih asyik bertukar cerita tanpa sadar satu jam yang lalu bulan telah menggantikan posisi matahari. Langit malam ini sangat bersih biasanya ditutupi oleh polusi. Walau jarak bintang dari bumi jauh cahayanya terang benderang. Salma harus mengakhiri takdir hari ini mereka berpisah di depan cafe, melambaikan tangan lalu berjalan pulang. Sesampainya dirumah ia berjalan cepat ke arah kamar melempar diri ke kasur. Matanya menatap langit-langit kamar, kejadian di cafe berputar tanpa permisi. Salma menggulingkan badannya ke kanan dan kiri perasaannya membuncah. Hey, siapa yang menyangka ia akan bertemu dengan Rasha? Tidak ada! Salma menarik nafas ia harus tenang tidak boleh berlebihan. Mengambil ponsel di dalam tas ia mengetik sebuah pesan.

Chat Salma untuk Rasha

Rasha mengambil catatan dari dalam tas ia mulai merapikan catatan kasus hari ini serta hal penting lain agar lebih mudah dibaca. Setelah merapikan catatan ia kembali membaca buku Sobotta Atlas of Human Anatomy. Kertasnya tak lagi lurus kusut karena keseringan di buka. Rasha bukan tipe orang yang senang membaca tapi semenjak memutuskan masuk fakultas kedokteran membaca menjadi sebuah keharusan dalam hidupnya. Lagi pula buku yang ia beli tidak murah, rugi kalau hanya dijadikan pajangan. Berjam-jam ia duduk di depan meja belajar melirik ponsel yang sengaja ia balikkan agar lebih fokus belajar. Ada beberapa pesan masuk, satu nama menarik perhatiannya. Isi pesan yang sangat mendeskripsikan sang pengirim. Pembuka, isi, dan penutup, selalu seperti itu. Setelah mengirimkan balasan, ia memutuskan untuk tidur.

Nyatanya ia tak bisa tidur sama sekali, kejadian hari ini berputar tanpa permisi ketika ia memejamkan mata. Rasha duduk di pinggir kasur membaca lagi pesan dari Salma. Balasan yang ia kirim sudah dibaca. Ia melihat ke arah jam di dinding pukul 23.00 sekarang. Rasha memilih mengirim pesan lagi, berharap Salma belum tidur.

Chat Rasha untuk Salma

Rasha menunggu balasan Salma. Lima menit. Sepuluh menit. Tujuh belas menit. Nada pesan masuk terdengar dari ponselnya.

Balasan Salma

Dua kali nada tunggu telepon, panggilannya diangkat.

“Iya, Ras?”

Sorry gue telpon malem-malem. Boleh, kan?”

Edan. Dia udah jawab boleh di pesan, Ras. Why you repeat it? Stupid. Rasha memaki dirinya sendiri di dalam hati.

“Hahaha, kan udah di jawab tadi pesan.”

Stupid, stupid, stupid. Rasha memaki dirinya sekali lagi.

“Oh iya ya. Lo bikin PPT apa tadi?”

PPT budget plan kegiatan kantor untuk bulan depan.”

“Oh.”

Yes. Eh, ini kenapa lo tiba-tiba nelpon?”

“Gue mau minta maaf.

For what?

“Selama ini gue terlalu sibuk dengan diri sendiri. Terlalu banyak hal yang gue lewatkan. Bener kata lo, gue menghindar pas kita papasan di sekolah dulu. Juga pesan-pesan yang sebenarnya bisa gue bales lebih appropriate banyak hal buruk yang gue lakukan. Sebelum ini lagi-lagi gue melakukan hal yang sama.”

Salma hanya diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Balasan yang dikirim Rasha hanya emoji thumb up. Dia berharap bukan itu balasannya, setidaknya suatu kalimat. Tapi Salma tidak bisa berharap lebih ia adalah Rasha. Salma menarik nafas dadanya sesak. Ia berdehem berharap suaranya tidak bergetar. Untuk kali ini berhasil.

“Ras, gue tau manusia itu nggak boleh berharap ke manusia lain. Manusia cuma boleh berharap sama Tuhan. Hanya Dia. Tapi gue manusia salah satu ciptaan-Nya yang nggak sempurna. Balasan lo itu bikin gue tau kalau lo masih Rasha yang gue kenal. That’s enough.

Rasha menggenggam erat ponselnya ia paham maksud Salma.

Sorry, Sal.”

“Gapapa, Rasha. Manusia tuh emang harusnya cuma berharap ke Tuhan. Nah kan, langsung disadarkan sama Dia.”

Lo masih belum ngantuk?”

“Belum nih.”

“Gue boleh cerita waktu SMA dulu? Lo mau dengerin?”

“Boleh, boleh, mau, mau.”

Jika telinga Rasha tidak bermasalah suara Salma barusan intonasinya naik tidak seperti sebelumnya.

“Waktu SMA gue sengaja pilih sekolah yang jauh dari rumah. Bosan, karena jarak rumah ke sekolah terlalu dekat, dan gue pengen ketemu orang-orang baru. Setiap pergi ke sekolah gue harus melewati beberapa sekolah lainnya. Di salah satu sekolah, selalu ada polisi bertugas tiap paginya buat ngatur lalu lintas. Gue merasa hari itu semua hal akan berjalan seperti biasanya, gue terlalu naif. Dari arah depan gue bisa lihat seorang polisi menghentikan pemotor yang ingin melintas, karena ada siswa yang harus nyebrang. Gue refleks ngegas, lo tau apa yang terjadi selanjutnya?”

“Jangan bilang lo nabrak ya?”

“Hampir. Gue hampir nabrak, beruntung si polisi langsung minggir barengan siswa. Kalo nggak habis pokoknya. Motor gue masih melaju sampai terdengar sirine polisi, gue dikejar. Gue berhenti duluan sebelum makin runyam masalahnya.”

“Halah, kalau nggak dikejar lo bakalan tetap lanjut juga.”

“Tau aja lo. Si polisi jalan ke arah gue dan nanya tiga hal, kamu kenapa tidak berhenti? Kamu tidak melihat ada siswa yang mau nyebrang ke sekolah? Sekolah dimana kamu? Gue jawab setenang mungkin. Iya, saya lihat pak polisi lagi bantuin siswa nyebrang ke sekolah. Saya sekolah di SMA Harmonia Saskara, Pak.

“Kok lo ga jawab pertanyaan pertama?”

Wait. Si polisi nanya lagi, kamu jawab pertanyaan saya yang pertama jangan langsung loncat ke pertanyaan dua dan tiga. Dengan nada yang pelan gue bilang, maaf, saya baru bisa pake motor kopling dua hari yang lalu. Refleks ngegas pas narik kopling, Pak.

Suara tawa Salma terdengar renyah di telpon ia bisa membayangkan betapa paniknya Rasha saat menarik kopling bukan rem karena posisinya sama-sama di sebelah kiri. Suara tawanya masih tersisa.

“Si polisi masang ekspresi mau ketawa karena dengar jawaban gue mungkin dia mikir gue bego banget ke sekolah bawa motor baru dipelajari dua hari. Nggak bisa bedain antara kopling dan rem pula. Akhirnya, gue boleh melanjutkan perjalanan tapi harus nyanyi lagu Indonesia Raya dulu.”

“Yah, abisnya lo ngapain bawa motor kopling sih? Hahaha, gue bisa bayangin muka panik lo.”

“Cat warna putih kalah putihnya sama pucat muka gue. Abang gue satu-satunya si psycho itu kadang jailin adeknya nggak mikir. Motor gue dia bawa ke tempat kerjanya dan nggak bilang kalau dia ganti motor kopling. Dua hari sebelumnya gue baru tau pake ajalah gue pikir. Ternyata bikin gue hampir nginep di kantor polisi.”

“Hahaha, sampai kapanpun kejadian itu ga bisa lo hapus dari ingatan, right?

Yes. It was terrible morning mana hari Senin. Mepet upacara.”

“Rasha, Rasha ada aja kelakuan lo.”

Rasha kembali melanjutkan ceritanya. Dimulai dari penglihatannya yang buruk tapi duduk di barisan paling belakang. Saat ia mengerjakan tugas drama yang membuatnya harus ke pantai lalu kunci motor hilang, dan menjadi ojek dadakan bagi teman perempuannya selama bersekolah padahal rumah mereka tidak searah. What a modus, pikir Salma. Cerita Rasha berlanjut saat ia mulai berkuliah. Dia yang harus baca buku kedokteran kalo ditimpuk minimal bikin orang pingsan atau gegar otak.

Padahal membaca buku hal yang paling ia hindari. Atau pertama kali ia harus menemukan pembuluh darah yang mana tidak ada mirip-miripnya dengan di buku. Tentu saja di buku dibuat warna-warni agar lebih mudah belajar. Beberapa gambar sangat jauh berbeda saat berada dilapangan. Semua hal yang berbau kedokteran itu susah dan effort yang dikeluarkan harus maksimal, tidak boleh setengah-setengah. Rasha sendiri awalnya hampir gila belajar ilmu kedokteran, tapi semakin hari membuatnya lebih tertarik dan bersemangat. Keputusan ini telah ia buat, maka harus diselesaikan.

Salma mengubah topik pembicaraan tentang nama Rasha. Karena banyak orang yang menebak-nebak tentang nama belakangnya.

“Orang-orang tuh masih ngira lo lahir bulan Juni nggak sih, Ras?”

“Masih. Mungkin karena ada kata June.”

“Ternyata masih ya. Padahal lo lahir bulan September bukan bulan Juni. Ortu lo jago juga bikin nama.”

“Kalo menurut gue mereka males aja. Juan dan Resta, jadilah Junesta. Gampang, kan?”

“Iya ya daripada pusing tiga hari tiga malem mikirin nama anak. Mending gabungin aja.”

“Gitu lah. Lo juga nggak llahir bulan Mei, kenapa nama belakang lo Meira?”

“Dulu ayah cerita di pertengahan bulan Mei Ibu gue keguguran. Harusnya gue punya kakak bukan anak tunggal. Jadi ibu pengen kita sekeluarga selalu ingat kakak namanya juga mirip sama gue.”

“Gue baru tau sekarang. Namanya siapa, Sal?”

“Salima El Meira.”

“Bukan lagi mirip, tapi nyaris persis. Beda huruf I aja.”

“Mengutip kalimat lo sebelumnya, gitu lah.”

“Bisa gitu ya.”

Salma tertawa pelan selama Rasha bercerita ia sering menyalahkannya, dan mengiyakan argumennya. Jam menunjukan pukul 02.00 dini hari saat Rasha selesai bercerita, hening setelahnya. Salma dari tadi sibuk memikirkan hal lain yang belum pernah ia sampaikan langsung ke Rasha, ia menyiapkan mentalnya. Salma perlahan menarik nafas, menghembuskannya, dan berdehem berharap suaranya tidak bergetar. Kali ini tidak berhasil. Sebelum Rasha bertanya apakah Salma masih terjaga ia lebih dulu memanggil namanya.

“Rasha.”

“Iya?”

Salma kembali berdehem, berusaha mengendalikan emosinya. Hening.

“Nunggu gini nggak enak ya, apalagi lo yang bertahun-tahun.”

Salma tertawa pelan mendengar jokes Rasha barusan, tapi tetap tidak membuatnya tenang.

“Rasha. Enam tahun itu bukan waktu yang sebentar. Tahun demi tahun gue lalui sendiri. Dengan lo membentang jarak selebar-lebarnya membuat gue sadar. Gue harus bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun. Gue harus menemukan hal yang gue sukai. Gue harus mencintai diri sendiri dulu sebelum mencintai orang lain. Surat itu adalah bukti gue bisa ada di hari ini. Cuma, gue terlalu percaya diri. Ketika sahabat gue cerita tentang lo debaran jantung gue sama gilanya seperti dulu. Mungkin lo ga tau, tapi gue pernah pulang ke Indonesia sebelumnya. Dari arah berlawanan gue ga sengaja lihat lo lagi motoran, air mata gue jatuh gitu aja. Selama itu juga ada laki-laki yang mencoba masuk ke hidup gue. Tanpa sadar, mereka selalu gue bandingin sama lo. Ini nggak fair buat mereka dan diri gue. Selama enam tahun, I always back to you. Again and again. Now, I know. I have to let you go. Rasha….”

Salma menyeka air matanya ia tidak peduli lagi jika Rasha mendengarnya menangis. Kali ini hening yang cukup lama. Salma menggenggam erat ponselnya mencari kekuatan agar bisa melanjutkan kalimatnya.

Rasha. I love you more than you think, and I always love you. Always.

Rasha merasa menjadi manusia paling brengsek sekarang. Bertahun-tahun ia tidak peduli dengan Salma. Bertahun-tahun ia membiarkannya menangis sendiri. Bertahun-tahun ia tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Rasha kira surat yang ia terima dulu adalah pengakuan terakhir Salma, dan menjalani hidup tanpa dirinya. Rasha tidak tuli. Ia mendengarkan kalimat barusan sangat jelas. Ia tidak tahu harus merespon apa.

“Rasha, lo dengar gue?”

“Iya.”

Hanya itu yang diucapkan Rasha. Hening menjadi lebih lama dari sebelumnya. Hingga suara Salma kembali terdengar.

“Rasha. Janji sama gue. Ketika lo ketemu seseorang yang tepat buat lo, perlakukan dia dengan baik. Bikin dia sebahagia mungkin, lo nggak boleh bikin dia sedih apalagi nangis. Cukup satu orang aja ya.”

“Iya.”

“Janji juga sama gue. Lo akan mulai peduli dengan lingkungan sekitar, dan akan mulai banyak bicara walau hal yang ga penting. Terakhir, janji sama gue. Lo jadi orang baik ya.”

“Iya. Gue akan usahakan hal itu mulai hari ini, besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan tahun-tahun berikutnya.”

Good.

“Sekarang hampir jam tiga pagi. Lo harus tidur, besok ke kantor, kan?”

“Iya.”

“Lo minum dulu habis itu cuci muka ya.”

“Iya.”

“Salma, gue sekali lagi minta maaf buat semuanya. I’m really sorry.

“Gue udah maafin, Ras. Dari dulu.”

Lagi-lagi Rasha tidak tau harus merespon apa.

“Ras, gue tidur ya. Sleep well, bye.”

“Iya. Bye.

Salma meletakkan ponsel di atas nakas berjalan ke arah kamar mandi mencuci wajahnya. Kembali ke kamar ia mulai memejamkan matanya. Ia tertidur sambil menangis. Di lain kamar, Rasha masih duduk di pinggir kasurnya. Kalimat dan suara Salma masih berputar di dalam kepalanya. Ia bukan tidak menyukai Salma, bukan. Ia hanya ingin sendiri untuk sekarang, ia nyaman dengan dirinya sendiri. Ini bukan waktu yang tepat baginya menjalin sebuah hubungan. Ia masih belum siap. Rasha berharap semoga Salma bertemu manusia berjuta kali lebih baik dari dirinya. Semoga kebahagiaan segera menghampirinya.

Ini bukan jalur mana-mana. Ini lagi di stasiun, kita bukan ketemu, cuma kebetulan papasan. Jalur dan rel kita tetap beda (Nadhira Amira, Petjah). Bagi Salma, Rasha itu seorang manusia yang membuat Salma untuk pertama kali mau menerima kekurangan dan kelebihan orang lain. Rasha itu seorang manusia yang membuat Salma jatuh sejatuhnya dengan Sejuta Pesona lain yang tidak bisa didefinisikan. When I know you are okay, that’s enough for me. And, I love you more than you think. I always love you. Always.

-THE END-

--

--

Sarah Jembaranita
Sarah Jembaranita

Written by Sarah Jembaranita

A woman love about art and literature.

No responses yet