Sejuta Pesona

Special chapter: After All This Time

Sarah Jembaranita
10 min readFeb 27, 2023
Picture by Sarah Jembara

Hari demi hari berganti dengan rasa sakit dan patah hati paling dalam yang pernah ia lalui di tahun itu. Rasanya kosong dan hampa. Ia hidup bagai robot yang di program. Menatap dinding putih sembari menangis hampir setiap malam dan bangun dengan kepala berat di pagi hari adalah rutinitasnya. Kamar adalah saksi bisu bagaimana Salma mencoba berjuang menata kembali hidupnya.

Suatu malam gerimis lumayan lebat ia memakan es krim strawberry berharap kekosongan di dalam dirinya sedikit terobati, sama saja. Hampa. Saat membayar es krim tadi sang kasir menatapnya keheranan tapi Salma tidak peduli.

Ia duduk di salah satu kursi menghadap jalanan di depan toko. Sepi, hanya satu dua kendaraan yang melintas tentu saja sekarang sudah lewat tengah malam. Seorang laki-laki duduk tak jauh darinya juga menatapnya keheranan. Pakaian Salma setengah basah tapi ia malah membeli es krim bukan teh atau minuman hangat lainnya untuk menghangatkan badan. Laki-laki itu kembali menatap ponsel.

Salma mengeluarkan ponsel dari saku hoodie ia mengetik sebuah pesan singkat. Pesannya langsung dibaca si penerima. Belum tidur, ya? Pikirnya. Tapi Salma tak berniat mengiyakan tawaran si penerima. Ia hanya ingin memberitahu apa yang ia rasakan sekarang.

Jika Salma menerima tawarannya sama saja menghancurkan usahanya selama ini walau yang ia butuhkan adalah suara orang itu. You said you let him go, Sal. But you still need him to cheer you up! What an idiot you are! Salma tersenyum sinis untuk dirinya sendiri. Ia memutuskan pulang biar saja gerimis membasahi tubuhnya dan dinginya malam menusuk hatinya.

Layar ponsel Salma menyala menandakan panggilan masuk, untung saja ia di dekat ponsel. Maklum ponselnya selalu mode do not disturb.

“Ya?”

“Sal, mau sampai kapan lo kaya gini?”

“Nggak tahu.”

“Gue capek baca chat lo dan denger lo nangis. Move on, Sal.”

“Lagi proses cuma ya gini nggak gampang. Naikin deh level sabar lo.”

“Sal, gue nggak mau bullshit dan membesarkan hati lo. He just read your chat, that’s it. Dia nggak suka sama lo kalau dia suka pasti direspon bukan ngeread doang!

“Selama gue hidup baru kali ini gue mau terima kekurangan dan kelebihan orang, Nesh!”

“Mau sampai kapan lo terus begini gue tanya? Sampai kapan? HE IS NOT GOOD FOR YOU!

Salma terdiam mendengar penekan kata demi kata oleh Ganesh. Mau sampai kapan? Batinnya berucap.

“Gue nggak mau lagi denger lo nangisin dia atau apalah itu. Sampai disini saja, Salma. You know what you have to do!

Ganesh mengakhiri panggilan hari itu dengan penuh emosi. Kata-kata Ganesh masih terngiang di telinganya, mau sampai kapan? Salma mengetik satu nama di daftar kontak lalu menghapusnya. Tidak lagi mengikuti akunnya di media sosial dan ikut membisukan semua orang yang berhubungan dengannya.

Beberapa bulan terakhir sangat hectic hampir setiap malam ia harus lembur mengaudit keuangan beberapa perusahaan yang bekerjasama dengan tempatnya bekerja. Jumat kemarin ia telah menyelesaikan semua pekerjaannya, maka Sabtu ini Salma memutuskan untuk menonton film di bioskop sendirian. Iya, kalian tidak salah baca. Ia memang menonton sendirian. Salma dan berjuta-juta orang di luar sana menyebutnya me time. Dia selalu senang melakukan hal ini.

Sepulang dari bioskop Salma berjalan kaki menuju apartment karena jaraknya memang tidak terlalu jauh. Sembari menunggu lampu pejalan kaki berubah hijau, ia berselancar di Stargram. Salma menggulir layar ke bawah sesekali berhenti membaca headline berita.

Jari telunjuk Salma tak sengaja mengklik DM matanya terpaku melihat nama orang itu berada di urutan paling atas. Ia bengong sesaat sampai tubuhnya ikut terbawa kerumuman pejalan kaki lainnya untuk menyebrang.

Has he lost his mind? What the hell was he thinking? Ucap Salma ke diri sendiri sambil mondar-mandir di dalam kamar. Panik. Salma panik melihat nama itu ada tiga pesan belum ia baca. Setelah lima menit mondar-mandir akhirnya ia duduk di tepi kasur memberanikan diri membaca DM.

Rasha’s DM.1

Salma melempar ponselnya ke kasur. What the hell, Ras? What the hell? Kenapa lo tiba-tiba di Aussie? Argh! Keluh Salma di dalam hati.

Rasha’s DM.2

Salma gemes banget sama Rasha ini. Benar-benar random abis!

Rasha’s DM.3

Salma masih punya waktu satu jam untuk bersiap, ia memikirkan banyak hal. Kenapa Rasha tiba-tiba di Australia? Kenapa ia menghubungi Salma setelah sekian lama? Lalu, ia akan bicara apa nanti? Pikirannya seperti benang kusut tanpa sadar waktu berlalu begitu saja. Dengan langkah lebar ia berjalan menuju Central Market. Diantara lautan manusia Salma dengan mudah menemukan Rasha. Salma berjalan menghampiri mereka.

“Halo! Gue Salma.”

“Hai, Salma!” Sapa kembali teman-teman Rasha.

“Gue yang ngajak ketemuan kok gue nggak disapa?”

“Males. Lagian gue udah kenal sama lo.”

“Hmm. Ini Bintang, Pra, dan Barry. Mereka semua adik tingkat gue.”

“Hai lagi! Kok kalian bisa terdampar di benua Australia?”

“Ada acara kita disini, kak.” Sambung salah satu dari mereka.

I see. Anyway, jangan panggil kakak. Santai aja.”

Okay, Salma.”

“Yuk jalan.”

Teman-teman Rasha berada di depan memimpin jalan. Barry dan Bintang bercakap-cakap sambil menunjuk ke arah kedai makanan yang mereka lewati lalu menjelaskannya kepada Pra. Pra serius mendengarkan. Ia bertanya kedai mana yang menjual makanan paling enak. Dengan asal duo tour guide gadungan itu menunjuk kedai olahan daging babi. Salma dan Rasha kompak tertawa melihat tingkah absurd mereka bertiga.

Rasha mengenakan kemeja flanel merah dilapisi t-shirt hitam, celana jeans hitam, dan sneakers hitam sebagai alas kaki. Merasa diperhatikan Rasha melirik Salma. Mereka beradu pandang beberapa saat sampai akhirnya Salma memutuskan kontak mata dan tersenyum. Kedai makanan Vietnam menjadi pilihan setelah berkeliling cukup lama. Diluar turun hujan ketika mereka memasuki kedai, mie kuah khas Vietnam — Pho sangat cocok dengan cuacanya.

Hujan lebat digantikan gerimis, kilat, dan petir. Salma menutup matanya setiap kali kilat menyambar. Melihat tingkah Salma, Rasha ikut menutup mata dan telinganya.

“Ngapain lo?”

Rasha membuka mata dan menjauhkan tangan dari telinga, “Ngikutin elo. Petirnya nggak kuat kok.”

“Dasar. Gue beneran takut sama kilat makanya tutup mata.”

Rasha tersenyum mendengar penjelasan Salma. Jarang-jarang ia tersenyum seperti ini, pikir Salma. Selesai makan mereka mampir ke cafe terdekat. Rasha dan teman-temannya berbagi pengalaman seminggu terakhir. Salma mendengarkan sesekali menanggapi. Bintang, Pra, dan Barry larut dalam obrolan mereka sendiri. Salma berinisiatif pindah meja dari teman-teman Rasha.

“Jadi Salma, apa kabar?”

“Dih formal banget. Baik, Rasha. Lo apa kabar?”

“Hahaha, baik juga. Akhir-akhir ini lagi sibuk apa?”

“Biasa lah. Kerja, kerja, kerja, kaya. Harus kaya nggak boleh tifus betul, dok?”

“Betul. Hectic banget?”

“Beberapa bulan yang lalu lembur terus.”

“Sekarang?”

“Normal. Serius, lo ngapain kesini, Ras?”

“Ada seminar internasional. Manusia-manusia terpilih wajib berangkat ke Aussie.”

“Wow, keren juga lo sebagai manusia terpilih. Masa cuma berempat doang?”

“Ada beberapa lagi tapi kita mecah berhubung besok balik.”

“Ohh. Lo nggak beli oleh-oleh?”

Nope.

“Kenapa?”

“Menambah muatan di tas gue saja.”

“Astaga. Kan jarang-jarang lo kesini beli apa gitu.”

“Udah, tadi nitip sekalian.”

“Kirain lo beneran nggak beli. So, kerjaan lo gimana?”

Very well. Cuma capek saja. Hampir setiap hari harus praktek dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Belum lagi jalanan macet. Rasanya waktu habis dijalan. Kadang ada pasien nggak mengikuti anjuran atau malah menolak minum obat,” jelasnya sambil menyeruput kopi.

“Hmm, I can feel what you feel. Jadi apa yang lo lakukan kalau mereka begitu?”

“Yakinkan lagi dengan metode lain atau diancam sedikit dengan kemungkinan terburuk.”

“Hahaha, emang boleh?”

“Boleh dong. Kan gue dokternya.”

“Hahaha, sesat lo!”

“Nggak dong, ini fakta tau!”

Rasha bercerita tentang pasien yang senang bolak-balik ke rumah sakit untuk konsultasi berkedok curcol — curhat colongan. Si pasien rela menunggu berjam-jam atau jadi pasien terakhir asalkan bisa curhat dengan Rasha. Rasha yang naturalnya memang tidak terlalu banyak bicara mau tak mau harus menanggapi cerita pasien.

Ia melanjutkan cerita saat menjadi co-ass. Disuruh konsulen apa dia ngelakuin apa. Masih mending dimarahin secara personal, no hurt feeling. Tapi di depan pasien? Malu banget! Lagi day off malah diminta tukar jadwal jaga dengan rekan sejawat. Pasrah saja dia atau cerita horor di salah satu rumah sakit bikin dia merinding sendiri pas cerita.

“Ah udah, nggak usah dilanjutin!”

“Takut, ya?”

“Menurut lo?”

“Ya udah iya. Lo nggak ada rencana balik ke Indonesia?”

“Ada, tapi belum tahu kapan.”

“Nggak mau coba kerja disana?”

“Kalau itu nggak deh kayaknya.”

“Kenapa? Gajinya kecil?”

If you know then you know. Lagian gue sudah terbiasa hidup sendiri, enak.”

“Lebih enak kerja di negara sendiri tahu. Apalagi di rumah ya, kan?”

Salma paham maksud kalimat sarkas Rasha barusan.

“Benul. Benar dan betul.”

“Iya dong.”

“Gue mau nanya, tapi lo harus jawab cepat ngak boleh mikir.”

“Oke.”

Jujur Salma malas mau membahasnya tapi dia perlu jawaban. Salma belum puas dengan jawaban Rasha dulu kali ini ia benar-benar ingin memastikan sendiri.

“Did I ever cross your mind?”

“Aduh, lo ngomong apa tadi? Gue mau translate dulu.”

“Gue siram nih ya. Lo ngerti apa yang gue omongin.”

“Hahaha. Apa tadi?”

“Ih, makanya kalau orang ngomong tuh dengerin, Ras. No repeat.”

Okay, retoris.”

“Retoris?”

“Iya, retoris. Contohnya kayak tadi gue kepikiran buat ngajakin lo ketemuan. Artinya, kepikiran.”

“Kita bukan lagi kuliah Rasha. Nggak perlu pake contoh segala.”

“Biar jelas, Salma. Jadi nggak melebar kemana-mana.”

Alright then. Pertanyaan terakhir. Jangan mikir ya langsung jawab.” Rasha menganggukkan kepalanya. “Lo denger nggak sih apa yang gue omongin malam itu?”

“Denger. Dan gue masih inget lo ngomong apa. Mau gue sebutin?”

“Jangan. Nggak perlu. Bagus kalau lo denger. Tapi lo kenapa cuma baca chat gue? Centang biru no reply.

“Emangnya kapan?”

“Adalah kapan hari. Overthinking gue tau!”

“Hmm, kayaknya gue sibuk banget waktu itu. Gue ganti nomor lagi.”

“Tuh kan. Lo kenapa suka ganti nomor sih?”

“Nggak papa gue suka aja.”

“Lo sadar nggak kalau lo aneh?”

“Hahaha, lo doang mikirnya begitu. Ya gue akuin, sometimes I act weird.

“Kan! Berasa ngomong sama alien gue. Last question, jawab cepat!”

“Lah yang tadi bukan yang terakhir?”

“Nggak, intermezo doang itu.” Lagi-lagi Rasha tersenyum mendengar jawaban Salma. Tapi Salma mengacuhkan senyuman itu. Tangan Salma dingin, ia gugup. Sebelum bertanya Rasha terlebih dahulu menjawab.

No,” ucapnya.

“Hahaha! Lo udah tahu gue mau nanya apa, ya?”

Rasha kembali tersenyum sambil tertawa, “Lo aja yang nanya.”

“Hmm, I already knew the answer. Lo juga mention tadi. Tapi gue tetap harus nanya. Did you ever like me?

No.

As a friend?

I like you.

“Jahat sih kalau lo nggak suka gue sebagai teman. I mean, as a woman?

I like you.

No. I mean in a relationship?

No, Salma. Gue nggak bisa berada di hubungan itu sekarang. Masih banyak yang harus gue benahi di diri gue, sometimes emosi gue masih meledak-ledak. That’s not good either.”

“Huh, gue harus nunggu bertahun-tahun buat denger jawaban ini dari orangnya langsung. Untungnya jawaban lo no kalau yes gue yang bingung, Ras.” Salma mengepalkan fist bumpnya ke Rasha.

“Tangan lo dingin.”

“Iya.”

Mereka terdiam beberapa saat hingga suara Rasha menginterupsi.

As a friend and woman I like you.” Rasha tersenyum tulus sambil menatap Salma.

I knew.

“Sal, satu pertanyaan gue.”

“Apa?”

“Lo masih bersedih?”

Not at all. Kalau lo nanya beberapa tahun yang lalu tentu saja gue bersedih, Ras. Gue hapus nomor lo, unfollow your staragram, dan mute semua teman-teman lo. Setelah gue bisa menerima dan berdamai dengan diri sendiri. Gue follow lo lagi dan unmute mereka.”

“Lo unfollow gue?”

“Iya. Nggak sadar kan, lo?”

“Nggak. Lo mute teman gue juga? Padahal gue jarang muncul di story mereka.”

“Gue nggak mau ambil resiko.”

“Lo sadar nggak kita ngobrolin hal ini lepas banget? Sambil ketawa-ketawa lagi.”

“Hahaha, sadar lah! Itu pertanda baik. Ini bakalan jadi jokes internal kita!”

“Iya ya. Lo pernah nulis di buku gue.”

“Hah? Apaan? Gue cuma inget pernah ngirim surat pas lo ultah ke tujuh belas.”

“Ada. Di chapter Otak Udang. Gue inget.”

“Gue nggak inget. Emang ada, ya?”

“Ada. Ntar pulang ke Indonesia gue fotoin.”

Okay then. Balik yuk.”

“Yuk.”

Saat berjalan menuju halte tiba-tiba Rasha menghentikan langkahnya membuat yang lain ikut berhenti.

“Kalian duluan aja. Gue mau ngobrol sebentar sama Salma.” Bintang, Pra, dan Barry mengangguk dan melanjutkan langkah mereka. Salma disebelahnya menatap Rasha bingung. “Salma. Kalau lo nanya hal tadi lebih awal pasti semuanya juga clear lebih awal ya, kan?”

“Lo pikir gampang gue ngomong kayak tadi, hah?!” Salma meninju lengan Rasha sekuat tenaganya.

“Aduh! Sakit tau.”

“Syukurin! Lagian pernyataan lo bikin gue emosi!”

Sorry. Tapi, iya kan?”

“Emang iya! But, words don’t come easy to me, Ras.”

I see. Kenapa lo bisa suka sama gue selama enam tahun?”

“Nggak tahu, Rasha. Kalau gue tahu jawabannya artinya gue nggak perlu suka sama lo selama itu.”

“Gue bingung, Sal. Lo aja nggak tau jawabannya apalagi gue.”

“Makanya nggak usah aneh-aneh deh. Karena elo gue move on lama tau!”

“Tuh kan lo move on nya lama lagi. Berapa lama emang?”

“Lamaaaaa banget! Rasha?”

“Iya?”

“Gue mau cari orang yang nggak mirip dan lebih baik dari lo.”

That’s a good decision.”

“Iya. Let’s be friends, Ras?”

Let’s be friends, Salma.”

Mereka berdua tersenyum lalu tertawa. Salma akan selalu mengingat kejadian hari ini. Terserah Rasha kalau dia mau menghapus kejadian ini dari ingatannya. Suka-suka Rasha deh! Tiba di halte, Bintang dan yang lain sudah menunggu bersamaan bus mereka datang. Rasha melambaikan tangannya. Salma membalasnya begitu bus berbelok di tikungan barulah Salma beranjak dari sana.

Rasha mengirimkan sebuah foto padanya beberapa hari kemudian. Tulisan tangannya ada dihalaman novel yang pernah Salma pinjam dulu. Rasha Junesta “MAAF!!!” -October 12th, 2013- Salma El Meira. Ia ingat pernah menulis permintaan maaf karena Rasha membentang jarak.

Salma tertawa sendiri melihat foto tersebut. Dia bahkan tidak ingat saat Rasha mention soal itu. Tapi Rasha ingat! Lengkap pula dengan chapternya! Astaga, Ras. Kamu benar-benar punya Sejuta Pesona tidak heran kenapa Salma bisa sejatuh-jatuhnya denganmu. Kita adalah dua orang tepat, bertemu di waktu yang tidak tepat. Satu dari seribu, tidak harus kamu.

-THE END-

--

--

Sarah Jembaranita
Sarah Jembaranita

Written by Sarah Jembaranita

A woman love about art and literature.

No responses yet